Dalam dunia digital, terdapat beberapa isu yang meliputi pajak ekonomi digital. Pada isu pajak ekonomi digital, para panelis menyepakati bahwa diperlukan ketentuan perpajakan internasional yang baru guna mengatasi masalah pajak internasional. Terdapat beberapa proposal terkait ketentuan tersebut. Salah satunya adalah, User Participation, dimana pajak digital dipungut berdasarkan kontribusi pengguna dan hak pengenaan pajak dialokasikan berdasarkan tempat dimana pengguna berada. Setelah itu, Marketing intangibles, dimana pengenaan pajak didasarkan pada tempat aset tersebut digunakan. Selain itu ada significant economic presence, dimana subjek pajak dianggap memiliki kehadiran ekonomi apabila terdapat interaksi dengan pengguna melalui teknologi digital, misalnya seperti platform online.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan bahwa pemberlakuan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perusahaan digital tetap menuggu hasil dari consensus global terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan sekalipun pajak digital sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan / atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan / atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian keuangan tersebut mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan komunikasi dengan kelompok kerja yang berada di G-20 untuk merampungkan konsensus pajak digital. Dalam Perpu 1/2020, Suryo Utomo mengatakan bahwa pemerintah telah memberikan perluasan definisi dari pajak digital atau disebut dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian prosedur dan peralatan elektronik. Nantinya, pengenaan pajak tidak hanya berdasarkan kehadiran fisik yang ada dalam regulasi selama ini namun, kehadiran secara ekonomi. Ia mengatakan “Bentuk Usaha tetap (BUT) yang selama ini berdasarkan Physical Presence atau kehadiran fisik, dengan perpi 1/2020 batasan tersebut diperluas. Tidak lagi hanya sekedar Physical Presence, tapi juga harus significant economic presence.” Mengenai kriteria dalam kehadiran secara ekonomi (significant economic presence) kata Suryo, saat ini Direktorat Jenderal Pajak sedang melakukan pendalaman dan penyusunan lebih lanjut. Ia mengatakan “Jadi Significant Economic Presence dapat diimplementasikan dalam konteks memajaki Pajak Penghasilan. Ada beberapa kriteria di sana, seperti jumlah omzet, jumlah pengguna aktif dan sebagainya.”
Suryo Utomo menjelaskan bahwa Ketika konsensus global sudah tercapai, pemerintah akan melakukan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk memberikan pengaturan ketentuan teknis Pajak Penghasilan terhadap perusahaan digital. Pada sisi lain, pemerintah juga akan mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk merumuskan kebijakan penarikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Suryo menjelaskan bahwa untuk Pajak Pertambahan Nilai, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian keuangan akan segera menunjuk subjek pajak luar negeri sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Kewenangan tersebut baru diatur di dalam perpu 1/2020. Ia mengatakan “Kalau mereka (pemungut Pajak Pertambahan Nilai) sudah siap, langsung kita implementasikan. Kami harap, secepat mungkin platform PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) yang ada sudah siap.” Namun, Suryo Utomo masih belum bisa menyebutkan perusahaan digital mana saja yang akan memungut Pajak Pertambahan Nilai. Ia meminta agar rilis tersebut menunggu penerbitan dari regulasi secara resmi.









