NIK Jadi NPWP: Solusi Penyederhanaan atau Sumber Kerumitan Baru?

Integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan salah satu agenda reformasi perpajakan paling besar dalam implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan ini dirancang sebagai langkah strategis menuju administrasi pajak yang lebih modern, efisien, dan tepat sasaran. Namun, proses transisi yang berlangsung sejak 2022 hingga implementasi penuh pada 1 Juli 2024 menimbulkan sejumlah dinamika yang memunculkan pertanyaan: apakah integrasi NIK menjadi NPWP benar-benar menyederhanakan sistem, atau justru melahirkan kerumitan baru? 

Pemerintah menegaskan bahwa NIK akan menjadi identitas tunggal dalam layanan administrasi pajak. Landasan kebijakan tersebut diperkuat oleh berbagai regulasi seperti Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2021 tentang pemanfaatan NIK dan NPWP sebagai bagian dari Satu Data Indonesia; PMK 112/PMK.03/2022; PMK 136/2023 yang mengatur pemadanan NIK–NPWP; serta PER-06/PJ/2024 yang mulai memberlakukan penggunaan NIK sebagai NPWP di seluruh layanan perpajakan per 1 Juli 2024. Dengan kerangka hukum yang kuat, pemerintah berharap integrasi ini dapat meningkatkan keakuratan data, memperluas basis pajak, dan memperkuat efektivitas pengawasan. 

Dari segi kenyataan, hasil pencocokan data menunjukkan angka yang lumayan besar. Sampai bulan Desember 2023, Direktorat Jenderal Pajak atau DJP melaporkan bahwa 59,56 juta NIK sudah berhasil dicocokkan, atau sekitar 82,52% dari total wajib pajak perorangan. Angka ini melonjak cepat menjelang batas waktu penerapan yaitu pada 30 Juni 2024, DJP mencatat bahwa 74 juta dari total 74,68 juta wajib pajak perorangan, atau 99,1%, berhasil dicocokkan. Bahkan, sebanyak 4,37 juta pencocokan dilakukan sendiri oleh wajib pajak, sementara sisanya dicocokkan otomatis lewat sistem yang terhubung dengan data kependudukan. Dari sisi kuantitatif, capaian ini menunjukkan keberhasilan besar dalam migrasi identitas perpajakan nasional. 

Namun, keberhasilan dalam bentuk angka bukan berarti menghapus tantangan teknis dalam implementasinya. Meskipun NIK telah resmi menjadi NPWP mulai 1 Juli 2024, DJP mengakui bahwa belum seluruh layanan digital perpajakan dapat berfungsi sepenuhnya menggunakan NIK. Perubahan dilakukan secara bertahap dan pada tahap awal baru mencakup tujuh layanan administrasi, seperti e-Registration, pembaruan profil DJP Online, informasi KSWP, e-Bupot 21/26, dan e-Objection. Sementara itu, berbagai aplikasi eksternal seperti  sistem  perpajakan perusahaan, third-party apps, dan layanan perbankan juga membutuhkan penyesuaian terhadap format NPWP 16 digit, sehingga masa transisi yang panjang tidak dapat dihindarkan. 

Di lapangan, berbagai masalah muncul pada tahap pemadanan. Tidak sedikit wajib pajak mengalami gagal validasi akibat ketidaksesuaian elemen data antara NIK dan data kependudukan di Dukcapil, seperti perbedaan penulisan nama, tanggal lahir, atau status kependudukan yang belum diperbarui. Akibatnya, sebagian wajib pajak sempat kesulitan login ke DJP Online, menyampaikan SPT Tahunan, atau mengakses layanan pajak lain yang menuntut validasi identitas. 

Selain tantangan teknis, isu privasi dan keamanan data menjadi kekhawatiran tersendiri. NIK merupakan identitas fundamental dalam berbagai layanan publik di Indonesia, sehingga integrasi data antara perpajakan dan kependudukan meningkatkan kebutuhan akan perlindungan data yang jauh lebih ketat. Beban keamanan ini meningkat seiring rencana pemerintah memperluas Single Identity Number (SIN), yang menjadikan satu nomor identitas berlaku lintas sektor. Tanpa mekanisme perlindungan data yang kuat, risiko kebocoran atau penyalahgunaan data pribadi menjadi ancaman nyata dalam implementasi NIK sebagai NPWP. 

Meski begitu, integrasi NPWP menjadi NIK ini memiliki banyak potensi manfaat jangka panjang. Integrasi ini memungkinkan DJP menerapkan kebijakan perpajakan yang lebih tepat sasaran, sebagaimana disampaikan dalam beberapa rilis resmi DJP pada 2024. Data yang terintegrasi membantu pemerintah memperkuat pengawasan terhadap wajib pajak berpenghasilan tinggi, memperluas basis pajak yang sebelumnya tidak terjangkau, dan mengurangi potensi penghindaran pajak berbasis identitas ganda. Dalam konteks modernisasi sistem, integrasi ini juga mendukung arah besar reformasi perpajakan menuju otomatisasi, digitalisasi, dan penggunaan big data dalam pengelolaan kepatuhan. 

Dengan demikian, keberhasilan integrasi NIK sebagai NPWP sangat bergantung pada fase pasca-implementasi. Jika pemerintah mampu memperbaiki hambatan teknis, memperluas cakupan layanan digital berbasis NIK, dan memperkuat tata kelola data pribadi, maka integrasi ini berpotensi menjadi tonggak penting dalam modernisasi perpajakan nasional. Namun, jika kendala validasi data, infrastruktur digital, dan keamanan informasi tidak ditangani secara komprehensif, kebijakan ini dapat dipersepsikan sebagai beban administratif baru yang tidak membawa penyederhanaan nyata. 

Penulis:  
Zahra Nurul Azijah 
Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran   

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil karya dan pendapat pribadi penulis. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.