Kontradiksi Green Tax dan Green Insentive

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 (SDG 2030) adalah upaya komunitas global untuk kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan dan berkelanjutan. Implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mengharuskan pemerintah untuk mengambil kebijakan untuk memastikan bahwa kehidupan masyarakat mencakup sistem pembangunan dan pengelolaan yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan bagi generasi mendatang. Salah satu kebijakan pemerintah adalah kebijakan fiskal. 

Salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk mengendalikan perekonomian adalah kebijakan fiskal. Salah satu alat kebijakan fiskal yang terkait dengan penerimaan adalah perpajakan. Penerimaan pajak memiliki peran strategis dalam mendukung kegiatan perpajakan pemerintah. Pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan utama negara (anggaran), tetapi juga sebagai alat pengatur untuk memantau aktivitas swasta dalam perekonomian. 

Selama ini sistem perpajakan Indonesia cenderung terfokus pada fungsi anggaran, dan fungsi pajak sebagai fungsi regulasi masih jauh dari impian. Saat ini, banyak negara telah memperkenalkan banyak pajak lingkungan, yaitu sejenis pajak yang ditujukan untuk perlindungan lingkungan.  

Baca juga: Apa Itu Perseroan Perorangan?

 

Mengenal Green Tax 

Pajak hijau adalah kebijakan pajak fiskal yang diterapkan pada kegiatan masyarakat yang menghasilkan emisi karbon dan berdampak pada lingkungan. Menurut Badan Lingkungan Eropa, kontribusi pajak lingkungan terhadap total pendapatan pajak pada tahun 2003 adalah Kanada (3,99%), Denmark (10,27%), Perancis (4,91%), Jerman (44%). %), Jepang (6,58%), Belanda (8,93%), Norwegia (6,86%), Swedia (5,84%), Inggris (7,57%), Inggris (46%).

Keberadaan pajak lingkungan sangat penting. Tanpa pajak ini, pemerintah akan sulit melaksanakan kebijakan lingkungan hidup yang ditujukan untuk mencegah, mengendalikan, dan menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hingga saat ini, pemerintah hanya mengandalkan mekanisme pengaturan tradisional, seperti izin dan persyaratan penggunaan teknologi lingkungan, untuk menerapkan kebijakan lingkungan.

Meskipun kunci utama penyelesaian masalah lingkungan adalah biaya, prinsip pencemar membayar berlaku di sini. Prinsip ini juga diterapkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sebagai titik awal kebijakan lingkungan yang efisien dan efektif. Hal ini menjadikan pajak lingkungan sebagai alat anti-polusi yang paling efektif, karena memberikan insentif yang bertahan lama untuk mengurangi polusi dan mengurangi biaya pembuangannya. 

Contoh pengenalan pajak hijau dapat ditemukan di Israel. Di negara-negara ini, sistem pajak lingkungan berlaku untuk pembebanan emisi kendaraan bermotor. Adanya pajak tersebut diharapkan dapat mempengaruhi perilaku masyarakat yang memilih kendaraan rendah polusi, dan tentunya kegiatan produksi mobil.

Saat ini di Indonesia, penerapan pajak lingkungan dapat mengacu pada Peraturan No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Ketiga bentuk pembiayaan lingkungan-Dana Jaminan Pemulihan Lingkungan (DJPLH), Dana Pengurangan Pencemaran dan/atau Pemulihan Kerusakan Lingkungan (DP2KPLH), dan Dana Amanah/Bantuan Konservasi yang terdiri dari APBN, APBD, subsidi, dan pajak lingkungan.

Namun, ada beberapa potensi masalah. Pertama, ada kekhawatiran bahwa sulit untuk benar-benar membedakan apakah pajak lingkungan untuk tujuan anggaran atau peraturan. Dilihat dari fungsinya, ecotaxes tidak berbeda dengan pajak yang dipungut lainnya, kecuali untuk tujuan yang ingin dicapai.

Badan hukum yang terlibat berbeda dengan pajak yang ada. Terlepas dari perbedaannya, tujuan utama perlindungan lingkungan jelas. Kedua, dapat terjadi duplikasi pelaksanaan, dengan pengusaha yang sebelumnya dikenai pajak yang berbeda dikenakan pajak kembali. Jauh sebelum undang-undang pajak daerah dibuat, para pebisnis sudah bereaksi negatif. Padahal, ketika menilai modal alam yang diperoleh pengusaha di sektor kekayaan alam, sebenarnya ada nilai lingkungan yang sangat besar yang digerogoti oleh aktivitas yang dilakukan pengusaha. 

Kebijakan pajak dalam bentuk eco-tax dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan. Tentunya dengan kebijakan tersebut diharapkan penerimaan pajak lingkungan yang terkumpul dapat digunakan untuk membiayai pemulihan kerusakan lingkungan. Di sisi lain, jika ekonomi berhasil mengurangi polusi, maka diperlukan insentif hijau, misalnya dengan menggunakan bahan bakar berbasis teknologi hijau dan bahan baku terbarukan. 

Baca juga: Mengenal PPh Final Pelayaran Domestik

 

Mengenal Green Incentives 

Pada dasarnya, insentif pajak (green incentives) memiliki tujuan yang sama dengan green tax, yaitu untuk menjaga lingkungan, namun memiliki cara pandang yang berbeda dalam penerapannya. Insentif hijau semakin ditekankan dalam bentuk berbagai jenis insentif pajak. Kebijakan semacam itu umumnya diterapkan dalam berbagai bentuk di berbagai negara.

Misalnya, Filipina telah memperkenalkan tarif pajak umum sebesar 35% sejak tahun 2008 dengan pembebasan pajak selama 7 tahun, dan Guatemala juga telah memperkenalkan tarif pajak umum sebesar 31% sejak tahun 2003 dengan pembebasan pajak selama 10 tahun. Sebaliknya, Nikaragua (sejak 2005) dan Panama (sejak 2004) menerapkan tarif pajak umum sebesar 30% dengan tax holiday selama tujuh tahun.

Bank Pembangunan Jepang telah membiayai beberapa proyek pengembangan energi terbarukan dengan jangka waktu 13 sampai 15 tahun dengan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar. Deutsche Reconstruction Bank menawarkan pinjaman dengan harga tetap di bawah harga pasar selama 20 tahun. 

Meski tidak disebutkan secara spesifik, Indonesia juga menawarkan banyak insentif hijau. Bentuk insentif keuangan yang saat ini ditawarkan oleh Pemerintah antara lain Tarif Impor Disponsori Pemerintah (PMK No. 33/PMK.011/2009), PPh Disponsori Pemerintah (PMK No. 22/PMK.02/2009) dengan mekanisme zero SPM, beban PPN (PMK No. 178/2007), pembebasan bea masuk (PMK No. 177/2007, PMK 179/2007), pembebasan investasi 5% per tahun selama 6 tahun (PP No. 1/2007 dan PP No. 82/2008), penanam modal berhak atas pengurangan jumlah laba bersih sampai dengan 30% (30%) berdasarkan Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan (PP No. 62 Tahun 2008). investasi; depresiasi dipercepat; cakupan kerugian lebih lama, tetapi tidak melebihi 10 tahun. Mengenakan pajak penghasilan sebesar 10% (10%) atas dividen.  

Terakhir, baik DPR maupun pemerintah harus tetap kompak dan tegas dalam penerapannya terhadap isu pajak lingkungan dan insentif lingkungan. Tanpa sikap yang konsisten, dalam jangka menengah (lima tahun ke depan), skala kerusakan lingkungan di Indonesia bisa semakin besar.

Sebagai upaya menghindari duplikasi, pengusaha harus dibebaskan dari jenis pungutan yang ada dalam hal pajak lingkungan. Lalu, ketika menggunakan pajak lingkungan, harus diperjelas bahwa pajak dimaksudkan untuk memperbaiki lingkungan, bukan untuk meningkatkan pendapatan lokal.  

Di sisi lain, sebagai pedoman bagi pemerintah dalam memberikan insentif hijau, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan potensi hilangnya penerimaan pajak, tetapi juga subsidi listrik dan minyak tanah, khususnya, yang selama ini membebani anggaran secara signifikan. Perlu pertimbangan pula, untuk menguranginya. Politisi tidak lagi harus berpikir hanya dalam jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang. Dengan pemikiran seperti ini, kita perlu mempercepat pengembangan bahan baku terbarukan. 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan tentu dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan kelestarian lingkungan, baik melalui perubahan perilaku (behavioral change) maupun pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pemulihan. Meskipun begitu, pajak saja tidak cukup. Bencana alam perlu ditangani bersamaan dengan individu menjadi lebih pintar dan mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan.