Gejolak Persoalan Pajak Digital Dengan Amerika

Amerika Serikat merasa kesal dengan langkah yang diambil oleh Indonesia dan beberapa negara lainnya, hal tersebut terjadi lantaran mereka telah dan akan menarik pajak digital. Walaupun begitu, beberapa pihak berpendapat agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru dalam mengambil langkah. Hal demikian disampaikan karena beberapa pihak tersebut khawatir hal tersebut dapat memicu terjadinya perang dagang. Perwakilan Dagang United States Trade Representative (USTR) Robert Lighthizer memberikan pernyataan untuk melakukan tindak lanjut dari arahan presiden Amerika Serikat yaitu Donald Trump. Adapun arahan tersebut adalah pihaknya untuk mulai melakukan investigasi terhadap negara yang memiliki keterkaitan dengan mereka yang telah dan akan menarik pajak digital.

Hal tersebut dilakukan karena Perwakilan Dagang USTR tersebut berpendapat bahwa pajak transaksi elektronik atau aksi unilateral berbagai negara pada saat ini dapat dikatakan tidak adil dan diskriminatif terhadap perusahaan digital yang berasal dari Amerika Serikat. Robert Lighthizer mengatakan bahwa bila pada investigasi tersebut ditemuka sebuah ketidakadilan pada pemungutan pajak digital tersebut, maka Amerika Serikat tidak akan segan untuk mulai memberlakukan tarif pembalasan yang penerapannya akan segera dilakukan sebelum mencapai akhir tahun.

Selain itu, di saat sebelumnya, Sekretaris Jenderal Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Curria menjelaskan bahwa terdapat potensi terjadinya aksi unilateral dari puluhan negara jika konsensus gagal tercapai pada akhir dari tahun 2020. Ia berpendapat bahwa aksi unilateral tersebut dapat membuat timbul dan meningkatnya resiko perang dagang dengan skala internasional. Sekretaris Jenderal OECD tersebut juga mengatakan bahwa pandemi corona virus disease 2019 atau yang lebih dikenal dengan covid-19 telah membuat keinginan banyak negara untuk menerapkan pajak digital menjadi meningkat dengan hampir di seluruh kawasan.

Sementara itu, di Indonesia. Pemerintah dinilai untuk tidak perlu melakukan langkah mundur untuk melakukan penerapan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi barang digital yang dilakukan via perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto memberikan pernyataan bahwa implementasi dari PMK No.48/PMK.03/2020 sebenarnya dari sisi hukum, hal tersebut memiliki sebuah posisi yang sangat kuat. Memberlakukan pengenaan PPN dari transaksi yang dilakukan secara lintas batas yang dilakukan via PMSE bukanlah jenis pajak yang baru melainkan hal tersebut telah diatur secara lugas di dalam undang-undang PPN.

Setelah itu, Wahyu Nuryanto juga mengatakan bahwa pemerintah sebenarnya hanya cukup melakukan komunikasi pada pemerintah Amerika Serikat bahwa kebijakan tersebut tidak menimbulkan jenis pajak baru. Konsep dari pengenaan PPN dari PMSE berbeda dengan konsep digital service tax yang diterapkan di beberapa negara. Tetapi Direktur Eksekutif MUC Tax Research tersebut tidak menampik persoalan tersebut akan berbeda jika pemberlakuan pajak tersebut adalah pajak penghasilan (PPh) badan atau pajak transaksi elektronik yang secara spesifik telah diatur di dalam UU No.2/2020.