Reformasi perpajakan dilakukan mengingat dengan adanya suatu reformasi akan menciptakan perubahan di bidang perpajakan. Reformasi perpajakan bisa berupa proses mengubah cara pengumpulan pajak dengan cara pembenahan administrasi perpajakan, peningkatan basis pajak, perbaikan regulasi perpajakan, dan yang lainnya.
Semua itu dilakukan agar menciptakan institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Dalam menjalankan kewajiban perpajakan, tidak terlepas dari yang namanya suatu regulasi atau peraturan. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan perpajakan diharapkan memberikan kepastian hukum, menampung dinamika kegiatan perekonomian yang berkembang, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, memperkuat basis perpajakan, dan meningkatkan penerimaan pajak dan juga pada akhirnya meningkatkan pendapatan negara.
Sejak tanggal 29 Oktober 2021, Presiden Jokowi bersama DPR telah mengesahkan UU No. 7 Tahun 2021 atau yang lebih dikenal dengan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai produk hukum yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta mendukung percepatan pemulihan perekonomian, mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, serta meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Secara umum dalam UU HPP ada beberapa aturan yang diubah maupun ditambahkan seperti perubahan pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Pajak Penghasilan, Perubahan dalam aturan pajak cukai, penambahan program pengungkapan sukarela wajib pajak, serta menambah ketentuan pajak karbon. Notabene semua perubahan dan penambahan regulasi diatas tidak langsung diterapkan secara bersamaan.
Peraturan mengenai PPN mulai diberlakukan sejak April 2022, pengaturan mengenai PPh mulai diberlakukan sejak tahun pajak 2022, peraturan program PPS berlaku mulai 1 Januari – 30 Juni 2022, aturan mengenai pajak karbon berlaku 1 April 2022, peraturan UU Cukai sudah mulai diberlakukan sejak saat diundangkan serta peraturan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang di dalamnya meliputi sanksi pajak dan integrasi NIK-NPWP berlaku sejak saat diundangkan.
Dengan diterbitkannya UU HPP, komitmen keberpihakan pada masyarakat menengah ke bawah dapat diwujudkan. Seperti perubahan dalam klaster Pajak Penghasilan yaitu perbaikan kebijakan dilaksanakan melalui insentif yang diberikan bagi Wajib Pajak yang menjalankan Usaha Mikro Kecil Menengah, perbaikan tarif progresif pada pengenaan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi, serta kemudahan dalam administrasi perpajakan yang salah satunya meliputi penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Keberpihakan WP UMKM melalui pemberian insentif berupa batasan PTKP atas peredaran bruto WP OP UMKM sampai dengan 500 juta dalam setahun. Artinya WP tersebut tidak terutang dan tidak perlu membayar PPh. Selanjutnya untuk WP Badan UMKM tetap mendapatkan fasilitas tarif PPh sebesar 50% sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 huruf E UU PPh. Dengan harapan insentif pajak yang diberikan tersebut dapat meningkatkan daya saing UMKM di Indonesia.
UU HPP memperbaiki progresivitas tarif PPh OP. Dengan cara menambah rentang lapisan PTKP yaitu tarif terendah tetap 5%, sedangkan tarif tertinggi berubah awalnya 30% menjadi 35%. Hal ini berdampak pada pengenaan PPh bagi berbagai kalangan WP lebih efektif dan berkeadilan. Untuk Pengenaan tarif PPh Badan menjadi sebesar 22%.
Tarif ini masih dikatakan kompetitif dan kondusif dalam menjaga keseimbangan iklim investasi di Indonesia. Kemudahan administrasi integrasi data NIK dan NPWP ini dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat khususnya bagi wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya karena hanya menggunakan satu identitas saja, sehingga masyarakat yang sudah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak tidak perlu datang ke KPP untuk membuat NPWP. karena NIK sudah berfungsi sebagai NPWP.
Sedangkan, keadilan dan keberpihakan UU HPP di sisi Pajak pertambahan Nilai dilakukan dengan cara memberikan fasilitas pembebasan PPN terhadap kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial akan melindungi masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah. Di sisi lain kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dilakukan bukan tanpa alasan. Menkeu Sri Mulyani menegaskan, bahwa kenaikan PPN ini dilakukan demi memperkuat ekonomi Indonesia dalam jangka panjang serta membantu membiayai APBN khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi nasional setelah mengalami keterpurukan selama pandemi berlangsung.









