Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan baru terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang mewah. Guna mendukung implementasi aturan ini, pemerintah memberikan masa transisi selama tiga bulan kepada para pengusaha untuk menyesuaikan sistem mereka. Langkah ini diambil agar para pelaku usaha dapat mematuhi regulasi baru tanpa mengganggu kelancaran operasional mereka.
Dalam Konferensi Pers di Kantor DJP Jakarta pada Kamis (2/1), Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, menjelaskan bahwa pertemuan telah diadakan dengan sejumlah pelaku usaha, terutama dari sektor ritel. Dalam diskusi tersebut, DJP dan pengusaha membahas langkah-langkah penyesuaian yang perlu dilakukan dalam sistem penghitungan pajak.
Suryo menyebutkan bahwa pemerintah memahami tantangan yang dihadapi dunia usaha dalam menghadapi perubahan sistem perpajakan ini. Oleh karena itu, masa transisi tiga bulan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk memastikan kebijakan dapat diterapkan dengan baik di lapangan.
Sistem Pajak yang Perlu Disesuaikan
Suryo menambahkan bahwa waktu tiga bulan ini juga akan dimanfaatkan DJP untuk mengevaluasi kesiapan sistem internal mereka. Ia menekankan bahwa sistem perpajakan harus berjalan seiring dengan kebijakan baru agar implementasi di lapangan dapat berlangsung tanpa hambatan.
Menurut Suryo, selain memberi waktu kepada pengusaha, DJP juga akan memastikan kesiapan sistem teknologi mereka. Ini bertujuan untuk mengakomodasi penerapan kebijakan secara efisien dan tepat waktu.
Baca juga: Implementasi PMK 131/2024: Tarif Baru PPN untuk Barang Mewah di 2025
Respons Dunia Usaha
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa masa transisi tiga bulan ini bukanlah batas waktu yang kaku. Ia mengungkapkan bahwa proses penyesuaian dapat selesai lebih cepat jika perusahaan mampu segera beradaptasi dengan aturan baru.
Dwi menjelaskan bahwa masa transisi ini memberi ruang bagi para pelaku usaha untuk memperbarui sistem perpajakan mereka. Sebagai bagian dari kebijakan ini, DJP juga menetapkan bahwa PPN atas barang mewah akan menggunakan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor. Faktur pajak akan menggunakan kode khusus, yakni kode faktur 04, untuk transaksi yang melibatkan barang mewah.
Potensi Dampak pada Penerimaan Negara
Meski aturan baru ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak, Dwi menekankan bahwa perhitungan rinci dampaknya terhadap pendapatan negara masih memerlukan kajian lebih lanjut. Pengenaan PPN 12% hanya berlaku untuk kategori barang tertentu, sehingga dampak ke penerimaan negara belum dapat diprediksi secara menyeluruh.
Kebijakan ini, menurut Dwi, lebih berfokus pada keadilan dalam sistem perpajakan, di mana barang mewah dikenakan pajak lebih tinggi untuk menyeimbangkan struktur pendapatan negara.
Baca juga: Panduan Pengkreditan Pajak Masukan di Masa Transisi Coretax
Tahapan Penyesuaian dan Harapan Pemerintah
DJP berharap agar pengusaha dapat memanfaatkan masa transisi ini secara maksimal untuk memperbarui sistem mereka. Penyesuaian meliputi pembaruan perangkat lunak, pelatihan staf akuntansi, hingga pemahaman mendalam tentang aturan baru yang diberlakukan.
Di sisi lain, pemerintah juga berkomitmen memberikan dukungan teknis kepada pelaku usaha selama masa transisi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada kendala signifikan yang menghambat penerapan PPN 12% untuk barang mewah.
Kesimpulan
Kebijakan baru terkait PPN 12% ini merupakan langkah pemerintah dalam memperbaiki sistem perpajakan dan menciptakan keadilan dalam penerimaan negara. Dengan masa transisi yang cukup, diharapkan para pelaku usaha dapat menyesuaikan sistem mereka tanpa kendala berarti. Sementara itu, DJP terus memastikan kesiapan sistem internal untuk mendukung kebijakan ini.
Pembaca Mitra Pajakku diharapkan terus memantau informasi terbaru terkait kebijakan ini agar dapat mengambil langkah yang tepat dalam menjalankan kewajiban perpajakan sesuai aturan baru.









