Pemerintah Indonesia saat ini sedang menghadapi dilema terkait rencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Langkah ini diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun ada kekhawatiran tentang dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga yang saat ini masih lemah. Pemerintah perlu mencari cara untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa menekan daya beli masyarakat.
Peningkatan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dapat menjadi cara untuk menambah pendapatan negara secara instan. Kebutuhan belanja negara diperkirakan akan meningkat signifikan di bawah pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dokumen Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2025 menunjukkan proyeksi peningkatan belanja, defisit fiskal, dan utang pemerintah. Belanja pemerintah diproyeksikan meningkat dari 14,56% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 16,15-17,80%. Defisit fiskal juga diperkirakan melebar dari 2,29% menjadi maksimal 2,80% terhadap PDB, mendekati batas aman 3%. Rasio utang juga diperkirakan naik dari 38,26% terhadap PDB menjadi maksimal 40,14%, mendekati level puncak selama pandemi Covid-19.
Namun, peningkatan tarif PPN juga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga. Sejak pandemi, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebagai pendorong utama ekonomi sering berada di bawah pertumbuhan ekonomi atau batas normal 5%. Pada triwulan pertama tahun 2024, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,91% secara tahunan, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,11%. Kenaikan harga kebutuhan pokok telah menekan daya beli masyarakat sejak pandemi.
Baca juga: Sah! Tarif PPN Naik Jadi 12% di tahun 2025
Dradjad Wibowo, anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, menyatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah bahwa peningkatan tarif PPN akan memaksimalkan penerimaan negara. Menurutnya, peningkatan tarif PPN mungkin tidak memberikan hasil maksimal dibandingkan mempertahankan tarif PPN di 11%. Dradjad juga menekankan pentingnya evaluasi ilmiah sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN.
Di sisi lain, membatalkan rencana kenaikan tarif PPN juga tidak mudah karena hal ini sudah diamanatkan oleh UU HPP. Penyusunan Rancangan APBN 2025 yang akan dimulai dalam waktu dekat ini kemungkinan masih akan mengacu pada tarif PPN sebesar 12%. Perubahan postur APBN dan belanja negara akibat pembatalan kenaikan PPN akan memerlukan revisi UU dan proses APBN-Perubahan yang memakan waktu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa strategi pemerintah bukan hanya menaikkan PPN, tetapi juga meningkatkan penerimaan pajak melalui implementasi sistem yang lebih baik, seperti Core Tax Administration System. Pemerintah berfokus pada peningkatan pendapatan dari perpajakan, bukan hanya dengan meningkatkan tarif PPN.
Analis Kebijakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, mengingatkan bahwa kenaikan tarif PPN bisa membawa dampak besar pada sektor riil dan daya beli masyarakat. Kenaikan ini dapat meningkatkan harga barang dan jasa, menekan daya beli, dan menurunkan konsumsi rumah tangga. Alternatifnya, pelaku usaha harus menyerap kenaikan tarif PPN dengan menekan margin keuntungan, yang juga akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Belajar Pajak: Mengenal PPN Pemakaian Sendiri
Ajib juga menekankan bahwa pemerintah memiliki ruang untuk menunda kenaikan tarif PPN, seperti yang terjadi dengan kebijakan pajak lainnya yang meleset dari target waktu yang ditetapkan dalam undang-undang. Dia mengusulkan untuk memaksimalkan pemasukan dividen dari badan usaha milik negara (BUMN) yang saat ini masih rendah dibandingkan aset yang dimiliki BUMN.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menambahkan bahwa kenaikan tarif PPN adalah cara paling mudah untuk menaikkan penerimaan negara. Namun, opsi lain seperti mengurangi fasilitas atau pengecualian pengenaan PPN juga bisa ditempuh, meskipun memiliki risiko politik yang besar. Mengurangi fasilitas PPN pada barang-jasa kebutuhan pokok dapat mengganggu daya beli masyarakat. Pajak atas harta (wealth tax) bagi wajib pajak superkaya juga diusulkan, namun cenderung sulit dijalankan karena tantangan legislasi.
Pemerintah harus mempertimbangkan berbagai opsi ini dengan hati-hati untuk menghindari dampak negatif pada daya beli masyarakat dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.









