Defisit Anggaran, Faktor Pemicu, dan Solusinya

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah tembus Rp289,1 triliun per Oktober kemarin. Defisit tersebut mencapai 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini meningkat jika dibandingkan dengan nilai defisit pada Agustus 2019 yang baru mencapai Rp199,06 triliun atau sekitar 1,24 % dari PDB Indonesia. Bahkan nilai tersebut juga lebih tinggi dari Oktober 2018 yang mencapai Rp229,7 triliuan atau 1,56 persen dari PDB. Hal ini tentu menjadi buruk mengingat dalam pelaksanaannya, pemerintah memiliki target defisit sebesar 1,84 persen dari PDB atau sekitar Rp296 triliun.

Di sisi lain, belanja negara pada periode yang sama sudah mencapai Rp1.798 triliun atau 73,1 persen dari target APBN 2019 yang sebesar Rp2.461,1 triliun. Dengan realisasi tersebut berarti, penerimaan negara tercatat hanya naik 1,2 persen. Walaupun ada sedikit catatan baik untuk pertumbuhan belanja negara yang mencapai 4,8%.

Alasan dari kenaikan dari defisit, menurut Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, dikarenakan menurunnya penerimaan negara dikarenakan tertekannya harga minyak dunia, nilai tukar rupiah yang kerap melemah, dan harga komoditas yang tidak stabil.

Namun, ke depannya, pemerintah juga belum bisa bersikap “pelit” pada kehidupan ekonomi masyarakat – terutama di daerah bukan perkotaan metropolitan. Pemerintah, berdasarkan prediksi Kemenkeu, akan tetap memperlebar defisit di sekitar 2,2% untuk menjaga aktivitas ekonomi masyarakat. Sokongan dana tentu tidak bisa kita dapatkan sendiri. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa harus menggunakan utang untuk menjaga asa ekonomi di masyarakat, baik lewat pengadaan barang, modal, atau pun transfer sumber daya lainnya.

Ini juga merupakan salah satu upaya pemerintah yang tetap mengharapkan agar pendapatan negara dari pajak bisa terus meningkat. Pemerintah meyakini bahwa jika aktivitas ekonomi terus didukung, maka Wajib Pajak akan melaksanakan kewajiban mereka dengan patuh dan taat.

Ke depannya, terlihat, bahwa Indonesia akan sulit keluar dari pelebaran defisit walau pun masih ada harapan lewat penerimaan negara dari pajak. Hal ini sulit dikarenakan ada beberpaa faktor eksternal yang harus dilewati dan tentu sangat berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi masyrakat Indonesia.

Pertama, harga minyak dan batubara yang belum kunjung memberikan tren positif yang signifikan. Kedua komoditas ini, selain memberikan peranan besar untuk pendapatan negara bukan pajak, komoditas ini juga merupakan komoditas berbagai perusahaan besar yang merupakan Wajib Pajak Besar. Jadi, jika komoditas-komoditas ini belum menunjuukkan tren positif akan sulit bagi pemerintah untuk menaruh harapan penerimaan dari sektor ini.

Kedua, adanya dugaan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi dan juga pelemahan yang cukup masif. Ini tentu ditenggarai oleh banyak hal, seperti perang dagang RRT dan Amerika, stabilitas politik di berbagai belahan dunia, dan faktor-faktor krusial lainnya. Tentu saja, dalam konteks ini, Indonesia tidak bisa banyak bergerak, apalagi dengan harapan bahwa langkah yang kita ambil akan signfikan terhadap iklim ekonomi nasional.

Terakhir, pemerintah bisa saja lebih “keras” terhadap Wajib Pajak. Intensifikasi pajak lewat meneliti ulang terkait laporan pajak dari para wajib pajak tentu meruapakan salah satu cara untuk meningkatakan penerimaan negara dari pajak yang akan mengurangi defisit anggaran. Namun, jika pemerintah mengambil langkah ini, kemungkinan besar para wajib pajak akan mengurangi ekspansi dan menjadikan iklim ekonomi semakin stagnan.

Jadi, sepertinya solusi pemerintah untuk membiarkan pelebaran defisit di angka 2,0- 2,2% dan mengandalkan utang untuk stimulus ekonomi masih menjadi solusi terbaik. Selama masih ada ruang kosong yang membolehkan pemerintah untuk melakukannya, sepertinya memang tidak akan menjadi polemik yang berbahaya.