Transfer Pricing merupakan suatu harga jual khusus yang biasanya dipakai sebagai alat pertukaran antar organisasi divisional guna untuk mencatat setiap pendapatan yang ada dari divisi penjualan dan dari biaya yang dikeluarkan oleh divisi pembelian.
Sebenarnya tujuan dilakukannya transfer pricing ini digunakan untuk mengevaluasi serta mengukur setiap kinerja yang terjadi di perusahaan, namun dalam pelaksanaanya transfer pricing ini banyak digunakan oleh beberapa perusahaan multinasional untuk meminimalisir jumlah pajak yang harus mereka bayar dengan melakukan rekayasa harga transfer antar divisi perusahaan.
Dengan memegang kunci utamanya yaitu dengan mengandalkan hubungan istimewa transfer pricing akan dapat dengan mudah untuk berhasil dalam sisi pajaknya.
Hubungan istimewa yang dimaksudkan ini merupakan suatu hubungan kepemilikan yang terjadi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya sehingga ketika hubungan ini terjadi memunculkan adanya suatu keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya. Adanya faktor kepemilikan dan penguasaan yang didapat melalui manajemen penggunaan teknologi, adanya suatu hubungan darah atau adanya perkawinan merupakan faktor penyebab utama timbulnya hubungan istimewa.
Pada pasal 18 ayat 3 UU Perpajakan No.10 Tahun 1994 menyatakan bahwa hubungan istimewa ada apabila terjadi karena 3 hal yaitu :
- ketika WP memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada wajib pajak lain
- terdapat adanya hubungan antara WP dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua WP atau lebih, WP menguasai WP lainnya, atau dua atau lebih WP berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung
- adanya hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus maupun kesamping satu derajat.
Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan adanya transfer pricing dan bahkan dari beberapa perusahaan yang ada di Indonesia sudah melakukan transfer pricing ini, hanya saja efek dari pengurangan pajaknya tidak terlalu terasa jika dilakukan di antara divisi-divisi yang ada di perusahaan. Namun lain halnya jika transfer pricing tersebut dilakukan guna untuk menilai kinerja divisi.
Nah, pertanyaannya apakah transfer pricing tersebut tidak terlalu terasa dampaknya dari sisi pajak jika dilakukan diantara divisi perusahaan? Hal tersebut terjadi dikarenakan dalam prakteknya, transfer pricing memberikan hasil yang maksimal, hasil yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk meminimalisir pajak yang terutang saat timbul adanya pengenaan tarif yang berbeda. Maka dari itu karena adanya pemberlakukan tarif pajak yang sama transfer pricing antar divisi di perusahaan tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
Dalam pelaksanaannya kekurang-wajaran yang biasa timbul karena adanya transfer pricing terjadi antara WP dalam negeri atau antara WP dalam Negeri dengan pihak luar negeri terutama yang berkedudukan pada Tax Haven Countries yaitu negara yang tidak memungut atau juga memungut pajak lebih rendah dari Indonesia.
Menurut DJP sebagaimana yang dimaksud dalam SE-04/PJ.7/1993 kekurang-wajaran dari harga transfer yang biasanya ditimbulkan dapat terjadi atas antara lain : harga penjualan, harga pembelian , pengalokasian biaya administrasi dan umum, pembebanan bunga pada pemberian pinjaman oleh pemegang saham, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan jasa lainnya, serta pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham.
Setiap permasalah yang ada dalam Transfer Pricing ini biasanya diatasi dan diselesaikan seperti yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1,2,dan 3 UU Perpajakan No.10 Tahun 1994 dengan memberikan setiap wewenangnya kepada menteri keuangan dan dirjen pajak untuk menentukan kembali atas besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menentukan atas besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi pihak yang mempunyai hubungan istimewa.









