Hingga akhir September 2025, penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.295,3 triliun, atau sekitar 62% dari target Rp 2.076,9 triliun. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya shortfall atau selisih besar antara target dan realisasi pajak.
Keterlambatan penerimaan pajak bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi dapat berdampak luas pada stabilitas ekonomi dan keberlanjutan keuangan negara. Berikut beberapa risiko yang mungkin terjadi jika target penerimaan pajak tidak terpenuhi menurut para ahli, sebagaimana dilansir dari Tempo.co:
Baca Juga: Mengelola Risiko dan Manfaat Zona Bebas Pajak Digital
1. Ketergantungan terhadap Utang Meningkat
Jika penerimaan pajak tak mampu menutupi kebutuhan anggaran, utang menjadi jalan pintas untuk menutup kekurangan dana. Alhasil, ketergantungan terhadap utang pun berpotensi meningkat.
Kemungkinan ketergantungan ini makin tinggi, bila mengingat pemerintah menghadapi masalah struktural seperti kepatuhan pajak menurun, deindustrialisasi, sektor informal mendominasi, dan membesarnya shadow economy.
Menurut Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, ketergantungan pada utang berisiko membebani keuangan negara karena pembayaran bunga utang sudah mendekati 20% dari total penerimaan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi ruang fiskal pemerintah untuk membiayai program prioritas.
2. Menurunnya Peran APBN sebagai Motor Pertumbuhan
Tak hanya itu, Wijayanto juga menilai bahwa ketika penerimaan pajak melemah, peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi ikut berkurang.
“Peran APBN sebagai motor pertumbuhan dan pemerataan akan semakin kecil,” ujarnya.
APBN yang seharusnya menjadi alat pemerataan dan pemacu ekonomi akhirnya hanya berfungsi untuk menutup defisit atau membayar utang. Hal ini dapat memperlambat pemerataan pembangunan antarwilayah.
Baca Juga: Hati-Hati, Berikut Resiko Bisnis Tidak Bayar Pajak
3. Pemangkasan Anggaran Perlindungan Sosial
Keterbatasan penerimaan pajak dapat berimbas langsung pada penurunan alokasi anggaran bagi program kesejahteraan masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira.
Ia memperingatkan bahwa jika kondisi ini dibiarkan, anggaran perlindungan sosial bisa dikurangi, bahkan program bantuan masyarakat berisiko tertunda. Akibatnya, daya beli masyarakat semakin melemah dan pertumbuhan ekonomi melambat.
“Pajak yang disetor tidak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” jelas Bhima.
4. Lapangan Kerja Sulit Tercipta
Berkurangnya anggaran perlindungan sosial, lanjut Bhima, juga dapat berimbas pada terciptanya lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, keterbatasan fiskal bisa menekan kemampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru.
Ini dikarenakan dengan ruang anggaran yang sempit, belanja pemerintah untuk proyek infrastruktur atau sektor produktif lainnya bisa berkurang. Padahal, proyek-proyek tersebut selama ini memegang peran penting dalam menyerap tenaga kerja hingga menggerakkan perekonomian daerah.
5. Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah
Rendahnya penerimaan pajak kerap dipengaruhi oleh distrust masyarakat terhadap pengelolaan pajak. Bhima menilai sebagian masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan publik.
Jika kondisi ini tidak diatasi, kepercayaan publik bisa terus menurun, yang berpotensi menurunkan kepatuhan wajib pajak dan memperburuk situasi penerimaan di tahun-tahun berikutnya.









