Apa Itu Specific Anti Avoidance Rules?

Hingga saat ini, masih banyak wajib pajak yang melakukan praktik penghindaran pajak atau tax avoidance. Hal ini dikarenakan masih adanya peluang atau celah bagi wajib pajak dalam melakukan pelanggaran tersebut. Seiring berjalannya waktu, cara, ataupun skema penghindaran pajak yang dilakukan semakin beragam bahkan telalu canggih hingga sulit untuk dideteksi oleh otoritas pajak dalam suatu negara.

Kecanggihan tersebut tentunya dipicu dengan perkembangan teknologi dan informasi di era digital ini yang kian pesat, bahkan pelayanan serta produk keuangan sudah maju dengan signifikan. Saat ini, telah tercatat cara ataupun skema yang kerap kali digunakan oleh wajib pajak dalam melakukan penghindaran pajak, seperti thin capitalization, disguised dividend, transfer pricing, hingga treaty shopping.

Selain dipicu dengan kemajuan teknologi dan informasi di era digital, terdapat beberapa faktor pendukung lainnya bagi wajib pajak dalam melakukan skema penghindaran pajak (tax avoidance), seperti adanya kesempatan (opportunities), lemahnya penegakan hukum (law enforcement), manfaat dan biaya (cost and benefit), kemungkinan kecil perbuatan terungkap (level of detections), pengenaan sanksi  pajak yang tidak berat (level of penalty), hingga proses negosiasi yang masih dapat dilakukan apabila kasus tersebut terungkap.

Dalam menanggapi semua itu, setiap negara sudah pasti akan melakukan pembaruan ataupun penyempurnaan dalam setiap sistem perpajakan yang digunakan guna meminimalisir kasus atau skema penghindaran pajak, baik bersifat khusus ataupun umum.

Termasuk dalam perpajakan internasional, dimana dikenal dengan istilah SAAR (specific anti avoidance rule) dan GAAR (general anti avoidance rule). Pada artikel kali ini, akan membahas ketentuan penghindaran dengan SAAR. Lantas, apa yang dimaksud dengan SAAR (specific anti avoidance rule)? Mari, simak penjelasannya berikut ini.

 

Sekilas Tentang Tax Avoidance

Secara umum, tax avoidance merupakan kata lain dari penghindaran pajak. Tax avoidance ini didefinisikan sebagai bentuk atau skema yang digunakan wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak dengan mengurangi beban pajak yang seharusnya. Hal ini dilakukan wajib pajak, karena adanya peluang atau celah dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di suatu negara.

Seorang ahli seperti Justice Reddy memiliki pandangan berbeda dalam tax avoidance. Beliau mengatakan dalam kasus McDowell & Co Versus CTO di Amerika Serikat, dimana tax avoidance didefinisikan sebagai seni penghindaran pajak yang tidak melanggar hukum.

Dalam hal ini, memang tidak ada yang salah apabila dilihat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku. Namun, praktik tax avoidance ini memiliki pengarus besar kepada penerimaan pajak suatu negara. Sedangkan, menurut ahli lainnya seperti James Kessler, yang mana beliau merumuskan bahwa tax avoidance dibagi menjadi 2 kategori, yakni:

  • Acceptable tax avoidance (penghindaran pajak yang diperbolehkan), dimana pada kategori ini karateristiknya memiliki tujuan yang baik, bukan untuk menghindari pajak, ataupun tidak melakukan transaksi palsu
  • Unacceptable tax avoidance (Penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan), dimana pada kategori ini karakteristik memiliki tujuan yang tidak baik (kejahatan), untuk menghindari pajak serta membuat transaksi palsu.

Dalam hal ini, apabila wajib pajak melakukan transakasi di suatu negara, maka praktik dalam penghindaran pajaknya akan disesuaikan dengan aturan ataupun ketentuan di negeri yang yang bersangkutan.

Baca juga: Mengenal Pembukuan Ganda

 

Anti Avoidance Rule

Pada dasarnya, praktik penghindaran pajak atau tax avoidance memang tidak melanggar peraturan yang berlaku. Namun, praktik tersebut memiliki pengaruh negative dalam penerimaan pajak di suatu negara, bahkan praktik tersebut dapat merugikan negara dalam jumlah yang fantastis. 

Untuk mencegah ataupu meminimalisir pelanggaran tersebut, setiap negara sudah pasti akan membuat sistem keamanan hingga aturan dan ketentuan yang mengatur pelanggaran tersebut atau dengan kata lain anti penghindaran pajak.

Secara umum, anti penghindaran pajak dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, yakni SAAR (Specific Anti Avoidance Rule) dan GAAR (General Anti Avoidance Rule). Walapun, sama-sama menjadi cara dalam melaksanakan antri penghindaran pajak, tapi kedua kategori tersebut memiliki perbedaan atas ketentuan penggunaannya. Untuk lebih jelasnya, ketentuan mengenai SAAR akan dibahas di bawah ini.

 

Mengenal SAAR (Specific Anti Avoidance Rule)

Secara umum, SAAR atau Specific Anti Avoidance Rule merupakan sebuah ketentuan yang diterapkan untuk mencegah ataupun meminimalisir tax avoidance (penghindaran pajak). Ketentuan SAAR ini biasanya terdiri dari Thin Capitalization Rule, Transfer Pricing Rule, CFC (Controlled Foreign Company), treaty shopping, dan lain sebagainya. SAAR ini juga relatif lebih kecil dalam menimbulkan ketidakpastian terhadap pajak mengingat ketentuan ini bersifat khusus atau ruang lingkupnya terbatas.

Berdasarkan definisinya, SAAR merupakan ketentuan dari anti penghidaran pajak (Anti Advoidance Rule) yang mengacu secara khusus terhadap penghindaran pajak. Meskipun, ketentuan SAAR ini dibuat sebagai upaya mencegah tax avoidance.

Namun, menurut pandangan beberapa ahli ketentuan ini masih terdapat celah atau peluang yang dapat dilakukan oleh wajib pajak dalam melakukan tax avoidance, mengingat dalam praktiknya ketentuan ini hanya mencegah skema tax avoidance tertentu saja. Sedangkan, kasus tax avoidance hingga saat ini semakin kompleks.

 

SAAR Di Indonesia

Berbagai Negara termasuk Indonesia, sudah pasti membuat aturan dan kebijakan yang mengatur anti penghindaran pajak. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa ketentuan SAAR ini merupakan  ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat khusus atau tertentu.

Merujuk Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai pajak penghasilan (UU PPh), dimana dalam peraturan tersebut tercantum mengenai ketentuan SAAR (Special Anti Avoidance Rules) sebagai salah satu cara dalam mencegah praktik tax avoidance.

Di Indonesia sendiri, SAAR diimplementasikan melalui beberapa hal seperti pembatasan pembebanan bunga (Thin Capitalization), penundaan pembayaran dividen atau lebih dikenal dengan istilah CFC (Controlled Foreign Company), transfer pricing, dan penggunaan special purpose company di tax haven country atau negara bebas pajak, dan lain sebagainya. Terkait hal tersebut, berikut penjelasannya:

  • Anti Thin Capitalization

Ketentuan ini merupakan cara wajib pajak dalam mengurangi beban pajak dengan memperbesar pinjaman, agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak penghasilan atau lebih dikenal dengan istilah Debt to Equity Ratio (DER).

Baca juga: Perbedaan Faktur Pajak dan e-Faktur

  • Transfer Pricing

Ketentuan telah diatur dalam Pasal 18 Ayat 3 UU PPh. Dalam aturan tersebut tercantum kewenangan DJP dalam menentukan kembali besaran penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal dalam menghitung besar Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa.

  • CFC (Controlled Foreign Corporation)

Ketentuan ini telah diatur dalam PasaL 18 Ayat 2 UU PPh. Dalam aturan tersebut tercantum bahwa Menteri Keuangan memiliki wewenang dalam menetapkan dividen yang diperoleh wajib pajak dalam negeri atas dilakukanya penyertaan modal pada Badan Usaha luar negeri yang sahamnya tidak dijual dengan harga di bawah 50% pada bursa efek.

  • Anti-Treaty Shopping

Ketentuan telah diatur dalam PER-25/PJ/2010 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Sebagai tambahan, sebenarnya otoritas perpajakan telah melakukan pencegahan tax avoidance melalui P3B (Penghindaran Pajak Berganda) atau lebih dikenal dengan istilah tax treaty.

Namun, dalam penggunaannya sistem P3B masih memiliki celah bagi wajib pajak dalam melakukan penyeludupan pajak. Alhasil, pemerintah menerapkan cara-cara baru agar dapat mempersempit ruang wajib pajak dalam melakukan tax avoidance.