Pemerintah telah memberlakukan berbagai jenis insentif pajak untuk melakukan peredaman pada dampak pukulan ekonomi yang di timbulkan oleh corona virus disease 2019 (covid-19). Oleh karena hal tersebut, the Organization for Economic and Development (OECD) menilai resiko penyalahgunaan insentif nyata. Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak meyakini bahwa account representative pajak dapat bekerja dengan baik di tengah pandemi corona virus 2019 atau yang lebih dikenal dengan covid-19 walaupun tanggung jawab mereka menjadi semakin bertambah disebabkan oleh insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah.
Adapun rincian dari insentif yang diberikan oleh pemerintah adalah, pertama, pajak penghasilan Pasal 21 dintanggung pemerintah yang mencapai besaran Rp 25,66 triliun. Kedua, PPh final UMKM ditanggung pemerintah yang mencapai besaran Rp 2,4 triliun. Ketiga, pembebasan PPh Pasal 22 Impor yang mencapai besaran Rp 14,75 triliun. Keempat, potongan angsuran PPh Pasal 25 yang mencapai besaran 25 persen dengan pengalokasian anggaran yang mencapai angka Rp 14,4 triliun. Kelima, pengembalian pendahuluan PPN yang mencapai besaran Rp 5,8 triliun. Keenam, penurunan tarif PPh Badan yang pada awalnya berada pada 25 persen menjadi 22 persen yang memiliki anggaran dengan besaran mencapai Rp 5,8 triliun. Ketujuh, tambahan PPh 21 ditanggung pemerintah yang mencapai besaran Rp 14 triliun. Kedelapan, stimulus dan cadangan lainnya yang mencapai besaran Rp 26 triliun.
OECD dalam sebuah penelitiannya yang memiliki judul Tax Administration; Privacy, Disclosure and Fraud Risk Related to Covid-19 mengatakan bahwa dalam rangka pandemi, penyalahgunaan insentif perlu untuk diwaspadai, hal tersebut karena adanya potensi besar untuk kebingungan otoritas pajak atau kesalahan informasi. Selain itu, Direktur Pelayanan, Penyuluhan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama memberikan sebuah kepastian bahwa account representative telah mengetahui latar belakang dari wajib pajak yang melakukan permohonan insentif. Hal tersebut dikarenakan mereka berfungsi dari melakukan pembinaan hingga melakukan pengawasan wajib pajak.
Hal demikian terjadi dikarenakan jumlah dari para pengaju permohonan insentif tidak sebanding dengan pegawai pajak. Terlebih lagi situasi pandemi corona virus disease 2019 saat ini membuat pegawai pajak melakukan pekerjaan mereka dari rumah masing-masing, hal tersebut meningkatkan kelonggaran pada pengawasan dalam melakukan seleksi, memberikan, atau melakukan evaluasi insentif. Tidak hanya itu, kondisi tersebut juga menimbulkan tiga resiko secara internal ataupun eksternal. Menurut Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center, Darussalam, dalam rangka melakukan pengantisipasian adanya penyalahgunaan terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan otoritas pajak terlepas dari mengandalkan account representative.
Sebagai contoh, proses pengajuan dan pelaporan realisasi insentif dilakukan melalui sistem IT yang dapat memberikan kemudahan dan juga tidak membutuhkan sumber daya manusia yang banyak. Selain itu adanya kriteria PKP yang memiliki resiko rendah bagi pengajuan restitusi dipercepat. Tidak hanya itu, pengawasan melalui kerjasama dengan pihak tertentu yang memiliki kaitan dengan tata pengelolaan aktivitas yang mendapatkan insentif seperti contohnya rumah sakit atau instansi pemerintah.









