Tantangan Berat Diskon Pajak Bagi Negara

Kini, upaya pemerintah mengembalikan defisit ke kisaran di bawah 3% pada 2023 mendapatkan tantangan berat. Kondisi ekonomi global tengah diguncang risiko resesi tahun depan.

Alhasil, guncangan eksternal ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari pajak kedepannya. Di sisi lain, efek windfall profit atau ‘durian runtuh’ dari ekspor komoditas akan berkurang seiring permintaan seret akibat perlambatan ekonomi dunia.

Dalam kondisi ini, pemerintah harus pintar-pintar mengelola anggaran dan pendapatan belanja negara (APBN). Ekonom senior Chatib Basri mengungkapkan, jika pemerintah ingin defisit berada di kisaran 2,6-2,9% terhadap PDB pada 2023, maka total penerimaan di dalam APBN harus mencapai 11,2 – 11,7% terhadap PDB, sementara rasio pajak sekitar 9%.

Jika ingin defisit turun di tengah penerimaan pajak yang mengalami penurunan, maka pemerintah harus memangkas belanja cukup besar. Chatib menegaskan pemerintah harus berani memilih prioritas, antara anggaran yang perlu dan sekedar ‘ingin’ saja. Untuk proyek yang diinginkan, dia menilai pemerintah bisa menundanya.

Salah satu, kata Chatib, pos pengeluaran yang bisa dikaji pemerintah adalah insentif fiskal atau insentif pajak. Meskipun, dia memahami jika pos ini dipangkas, banyak pengusaha yang tidak senang.

Dari catatan CNBC Indonesia, rata-rata belanja perpajakan ialah 1,45%-1,62% dari PDB tiap tahunnya. Adapun, pada 2020, belanja perpajakan mencapai Rp234,7 triliun, angka tersebut naik menjadi Rp 309,66 triliun pada 2021. Chatib mempertanyakan dampak belanja pajak yang besar kepada pertumbuhan ekonomi.

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan, pemerintah mengucurkan insentif pajak memang tidak semua berkorelasi dengan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, dia menilai pemerintah perlu melakukan evaluasi.

Menghadapi ancaman resesi, Bhima melihat pemerintah seharusnya memberikan diskon berupa penurunan tarif PPN, misalnya dari 11% menjadi 8-9%. Menurutnya, insentif PPN ini akan langsung dirasakan oleh konsumen. Di sisi lain, pajak terkait dengan mobil dan motor listrik dapat diterapkan, karena pajak ini akan mendukung transisi energi di dalam negeri.

Untuk insentif ini, pemerintah dimungkinkan bekerja sama dengan pemerintah daerah dengan adanya Undang-undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD). Begitupun dengan insentif UMKM, pemerintah daerah bisa memberikan insentif berupa diskon PBB. Dengan demikian, tidak semua beban insentif ditanggung oleh pemerintah pusat.

Namun demikian, Bhima mengingatkan agar pembagian insentif pusat dan daerah perlu diperjelas. Sementara itu, pemerintah sendiri tampaknya belum memiliki rencana mengurangi belanja pajak. Alih-alih berkurang, pemerintah justru tengah mengkaji perluasan tax allowance.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menyampaikan bahwa pihaknya akan memperluas bidang usaha yang akan menerima tax allowance atau keringanan pajak yang didasarkan pada nilai investasi bisnis.