Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna DPR pada bulan Mei lalu mengungkapkan akan terus melaksanakan reformasi perpajakan untuk memenuhi target pajak di tahun 2022 nanti. Salah satunya adalah dengan menggali sumber penerimaan pajak baru di Indonesia.
Secara umum, reformasi perpajakan merupakan sebuah proses untuk mengubah kebijakan pemungutan pajak dengan melakukan pembenahan administrasi perpajakan, regulasi perpajakan, dan peningkatan basis pajak. Dalam reformasi pajak ini, pihak-pihak yang akan merasakan dampaknya adalah Wajib Pajak, Pegawai Pajak, Lembaga terkait dan masyarakat.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), alasan harus dilakukannya reformasi dalam perpajakan, antara lain:
- Kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan
- Setiap tahunnya, target untuk penerimaan pajak pasti meningkat
- Kesulitan dalam pengawasan dan penegakan hukum yang menyebabkan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) tidak sebanding dengan penambahan jumlah Wajib Pajak
- Adanya perkembangan ekonomi digital dan kemajuan teknologi yang semakin pesat
- Adanya aturan untuk mengantisipasi perkembangan transaksi perdagangan.
Reformasi perpajakan yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program reformasi perpajakan yang telah diluncurkan sebelumnya tahun 2017. Reformasi perpajakan tahun depan akan meliputi dua aspek perbaikan, yaitu aspek administrasi dan aspek kebijakan.
Reformasi administrasi mengacu pada penguatan institusi dan sumber daya manusia, integrasi dari sistem informasi dan basis data perpajakan, simplifikasi administrasi, serta penajaman fungsi dari pengawasan untuk ekstensifikasi-intensifikasi perpajakan, termasuk juga ke dalamnya penegakan hukum yang berkeadilan.
Sedangkan reformasi dalam aspek kebijakan, pemerintah akan mengarahkan perluasan basis pemajakan serta mencari sumber-sumber baru untuk penerimaan negara. Hal ini dilakukan dengan menyempurnakan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mengurangi regresivitasnya, selain itu juga ada penguatan kebijakan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh), terkhususnya bagi orang pribadi, serta terdapat potensi untuk mengenalkan jenis pungutan baru di Indonesia, khususnya adalah pungutan pajak yang terkait dengan pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.
Reformasi pajak yang akan dilakukan nantinya akan mengarah pada penyelarasan sistem agar sesuai dengan praktik baik dan juga mampu untuk mengantisipasi dinamika faktor sosial dan ekonomi dalam jangka menengah-panjang. Selain itu, reformasi perpajakan juga bertujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang sehat dan adil. Sehat berarti akan efektif untuk instrumen kebijakan, optimal untuk sumber pendapatan, serta adaptif dengan adanya perubahan struktur dan dinamika perekonomian yang ada. Sedangkan yang dimaksud dengan adil mengacu pada pemberian kepastian perlakuan pemajakan, mendorong agar Wajib Pajak dapat patuh dalam kewajiban perpajakannya, serta menciptakan keseimbangan beban pajak yang terjadi antar kelompok pendapatan dan antar sektor.
Selain reformasi perpajakan, penguatan hubungan antara keuangan pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan kualitasnya guna mendukung arah kebijakan fiskal di tahun 2022. Berdasarkan data yang ada, pengalokasian transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) telah meningkat secara signifikan dari Rp 33,1 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp 795,5 triliun pada tahun 2021. Namun, disisi lain, pengelolaan keuangan di daerah dianggap masih belum efisien, efektif, dan disiplin. Masih ada ketimpangan kinerja fiskal antar daerah yang terjadi. Bendahara Negara Republik Indonesia sempat menuturkan, bahwa pada 2019, rasio pajak dan juga retribusi daerah dinilai masih rendah dengan berada di angka 2,65% terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). Sehingga pencapaian untuk pengeluaran dan pemasukan nasional dinilai masih rendah dan ketimpangan yang terjadi antar daerah masih lebar.









