Mitra Pajakku, Minggu 14 Juli 2019 diperingati sebagai #HariPajak nasional. Tahukah kamu bahwa penetapan 14 Juli sebagai #HariPajak bukan berarti itu merupakan hari lahir pajak.
Pemilihan tanggal 14 Juli sebagai #HariPajak mengacu pada peristiwa sidang Badan Penyelidik Usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang BPUPKI berlangsung selama 8 hari (10-17 Juli 1945).
Rangkaian sidang itu membahas berbagai hal sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia, termasuk pembahasan terkait ekonomi dan keuangan.
Nah, usulan soal pajak ini disampaikan pada 14 Juli 1945. Pencetusnya adalah ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat.
Pajak masa kerajaan
Sebenarnya, urusan perpajakan sudah ada sejak Indonesia masih terdiri dari kerajaan. Raja selaku penguasa wilayah punya kekuasaan penuh untuk memungut pajak dari rakyatnya.
Saat itu, pajak masih disebut sebagai upeti. Pemberian upeti ini juga sebagai wujud tanda bakti dan persembahan kepada raja. Masyarakat saat itu percaya bahwa raja adalah titisan Tuhan.
Karenanya, mereka memberikan persembahan kepada kerajaan. Sebagai imbalannya, rakyat mendapat jaminan keamanan dari kerajaan.
Pada masa kerajaan juga mengenal istilah pembebasan pajak. Praktik ini terlihat di kerajaan Majapahit, Pajang, Mataram, dan Demak (barangkali masih ada kerajaan lain). Kerajaan tersebut tidak memungut pajak atas kepemilikan tanah yang disebut sebagai “tanah perdikan”.
Pajak masa VOC
Setelah penjajah masuk nusantara, pungutan pajak mulai meluas. Saat VOC bercokol, mereka memungut pajak Rumah, Pajak Usaha dan Pajak Kepala kepada pedagang Tionghoa dan pedagang asing lainnya.
Namun, VOC tidak memungut pajak di wilayah kekuasaanya seperti Batavia, Maluku dan lainnya.
Kemudian pada masa Gubernur Jenderal Daendels juga ada pemungutan pajak yaitu memungut pajak dari pintu gerbang (baik orang dan barang) dan pajak penjualan barang di pasar (bazarregten), termasuk pula pungutan pajak terhadap rumah.
Inggris
Masuk ke era pendudukan Inggris, Gubernur Jenderal Raffles mengenalkan sistem pemungutan pajak yang disebut landrent stesel.
Sistem puntutan ini meniru sistem pengenaan pajak di Bengali, India. Yakni, pengenaan pajak atas sewa tanah masyarakat kepada pemerintah kolonial. (Mungkin ini yang menjadi awal mula pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan)
Sistem landrent stesel ini berdasarkan menyasar pengenaan pajak secara langsung kepada para petani. Tarif pajaknya adalah pendapatan rata-rata petani dalam setahun.
Oiya, kenapa dikenakan kepada petani? Beberapa literatur menyebut kalau Raffles menganggap petani mengolah tanah para raja. Sementara para raja menyewa tanah kepada pemerintah kolonial.
Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, batasan antara rampasan dengan pajak sangat sumir. Mengingat, Jepang sangat memfokuskan sumber daya untuk biaya perang.
Yang pasti, saat itu rakyat Indonesia diharuskan membayar pungutan (ini yang dianggap pajak). Selain juga kewajiban romusha.
Kemerdekaan
Nah, saat para pendiri negara tengah mempersiapkan kemerdekaan, soal pajak mulai dibahas. Seperti yang dijelaskan pada awal tulisan ini. Pembahasan pajak masuk dalam agenda sidang BPUPKI.
Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat melontarkan istilah pajak. Kata ini lantas masuk dalam peraturan perundang-undangan.
Kata “pajak” muncul dalam Rancangan Kedua UUD pada Pasal 23 butir kedua yang ada di BAB VI.
Pasal 23 butir kedua berbunyi, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Ternyata pembahasan pajak terus bergulir hingga akhirnya dimasukkan sebagai sumber penerimaan utama negara pada 16 Juli 1945.
Sejak awal kemerdekaan, sistem pajak masih sederhana. Sumber tertulis hanya ada di Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan (PPn) Tahun 1951.
Selanjutnya, ada Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing. Perubahan kembali terjadi pada masa Orde Baru. Di era Orde Baru, berlaku UU No 6 Tahun 1983, UU No 7 Tahun 1983, dan Undang-undang No 8 Tahun 1983. Dalam UU Perpajakan tahun 1983 tersebut berlaku asas perpajakan Indonesia.
Penetapan 14 Juli sebagai Hari Pajak
Diputuskan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017.
Pemilihan tanggal 14 Juli atas dasar munculnya pertama kali pembahasan soal pajak dalam rapat BPUPKI pada 14 Juli 1945. Hari Pajak mulai diberlakukan mulai tahun 2018.









