Omnibus Law akan Menyentuh Sektor Usaha Digital

Persoalan omnibus law ternyata tidak hanya mencakup peraturan-peraturan terhadap komoditas konvensional, khususnya perpajakan, dalam RUU tersebut sudah ada pengajuan terkait e-commerce dan perusahaan digiital. Hal ini tentu memicu pandagan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Namun, sebagai pengamat tentu saja bagian terpenting kita adalah memahami dan meyusun strategi baru jika RUU ini lolos dan mnenjadi UU. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan singkat dan pemahaman akan wacana RUU ini terkait aktivitas ekonomi digital.

Sebelumnya, pemerintah terlihat memang sangat serius terkait mengenakan pajak pada perusahaan digital. Terlihat dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Berdasarkan peraturan ini, seluruh perusahaan digital/pedagang online harus memiliki izin usaha. Berdasarkan peraturan ini, pemerintah sudah berancang-ancang dan menunjukkan keseriusannya untuk meregulasi perusahaan digital/pengusaha online termasuk menarik pajak dari mereka.

Adanya pajak untuk pelaku e-commerce/ perusahaan digital ini juga dijadikan sebagai kompensasi dari potential loss yang dihasilkan oleh meringannya peraturan pajak di RUU Omnibus Law. Pihak DJP percaya bahwa perluasan basis perpajakan dalam konteks mengambil nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu solusi untuk mengimbangi relaksasi peraturan yang dibuat pemerintah.

Contohnya, pemerintah Indonesia belum mengenakan pajak pada salah satu layanan TV asing yang cukup populer di Indoensia. Ini dikarenakan selama ini peraturan yang berlaku hanya membolehkan pemerintah untuk memungut pajak dari Badan Usaha Tetap (BUT). Jika sesuai rencana, omnibus law ini kana memberikan ketentuan bagi layanan TV asing yang mendapatkan keuntungan dari operasinya di Indonesia untuk memungut nilai PPN dari konsumennya dan menyetornya pada pemerintah, bahkan perusahaan tersebut juga akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini ditujukan agar ada keadilan bagi pelaku usaha non-digital yang selama ini sudah dikenai pajak sehingga persaingan menjadi lebih sehat.

Tidak jauh berbeda dengan e-commerce, skenario pengenaan pajaknya kurang lebih sama dengan perusahaan digital. Intinya, hal ini dirasionalisasi dengan argumen bahwa adanya aktivitas ekonomi tentu saja wajar jika dikenai pajak untuk diajdikan sumber penghasilan pemerintah. Masalah nilai dan persentase pengenaan pajak, DJP menyatakan bahwa hal itu masih dalam proses diskusi.

Munculnya ketentuan pajak ini tentu harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika kita berpikir soal keadilan bagi seluruh pelaku usaha, tentu peraturan ini terasa snagat berkeadilan. Wajib pajak nantinya tidak lagi ditinjau berdasrkan physical representation, tetapi economic representation. Peraturan ini juga akan mendorong pelaku usaha dalam negeri untuk menjadi lebih kreatif dan semangat mengingat diperhatikannya iklim bisnis yang adil dari pemerintah.

Soal kenaikan pengeluaran yang dibutuhkan oleh konsumen, biaya pengeluaran tambahan dari perusahaan tentunya juga sudah menjadi risiko. Permasalahannya tentu ada pada berapa angka yang akan dikenakan pada mereka, yang sekarang masih didiskusikan. Jika terlalu besar dan tidak mendukung iklim bisnis tentu saja munculnya aturan pajak baru ini justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Lebih buruknya, bahkan aturan ini bisa jadi bumerang karena sanksi pajak juga semakin dipermudah mengingat pada RUU Omnibus Law sanksi bunga tidak akan flat 2% lagi.

Namun, jika peraturan ini tepat nilai pajak dan sasarannya, makan peraturan ini akan menjadi sumber harapan baru bagi Indonesia. Hasil dari pajak perusahaan digital mau pun pelaku e-commerce bukan hanya menjamin eksistensi mereka secara legal, tetapi juga mengikutkan mereka bertarsipasi aktif dalam pembangunan serta kemajuan negara, baik membantu terbangunnya infrastruktur, iklim usaha yang lebih kompetitif dan berkeadilan, namun juga mewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.