Ketahui Pajak Minimum Global dan Dampaknya

Berdasarkan definisi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bahwa pajak minimum global merupakan pajak minimal yang harus dibayarkan oleh perusahaan multinasional domestik yang mana telah menerima pendapatan/penghasilan dari luar negeri. Tujuan diterapkannya pajak minimum global diterapkan yaitu untuk memastikan suatu perusahaan yang multinasional domestik untuk tetap membayar tingkat pajak minimumnya dengan kantor pusat yurisdiksi. 

 

Berdasarkan rezim pajak minimum global sebagai aturan sekunder bahwa terdapat tarif jumlah efektif minimum atas laba yang diperoleh perusahaan multinasional domestik yang disebut dengan Income Inclusion Rule (IIR) beserta dengan Under Taxed Payments Rule (UTPR). Pengenaan tarif sebesar 15% akan diterapkan berdasarkan kriteria tertentu.

 

Pajak minimum global sebagai rencana dari OECD dalam Pilar 2 sebagai pendukung atas solusi pajak di era digital. Jika berdasarkan Pilar 1, pajak minimum global diperuntukkan dalam mengurangi kompetisi pajak yaitu, khususnya pada Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

 

Baca juga: Pemotongan Hewan Kena Pajak? Ketahui Di Sini

 

 

Manfaat Pajak Minimum Global Menurut OECD

  1. Pilar 2 yang diperkirakan akan memberikan tambahan atas penerimaan pajak global yaitu sebesar 150 Miliar Dollar per Tahun
  2. Terdapat kestabilan terhadap sistem pajak global yang terdistorsi dari upaya menciptakan daya saing.

 

International Monetary Fund (IMF) menyampaikan bahwa dengan adanya pajak minimum global (global minimum tax) akan memberikan dampak yaitu menaikkan Pajak Penghasilan (PPh) Badan yaitu sebesar 14% kepada perusahaan multinasional. Dengan tarif sebesar 15% bagi perusahaan multinasional yang ditetapkan oleh OECD.

 

IMF juga menambahkan bahwa dengan pajak minimum global ini juga akan meningkatkan penerimaan pajak yaitu sebesar 8,1% yang berasal dari berkurangnya suatu kompetisi tarif pajak antar yurisdiksi. Selain itu, dapat sebagai dorongan perusahaan dalam menempatkan penghasilannya di negara yaitu dengan tarif pajak yang rendah yang akan berkurang yang dikarenakan tarif minimal yaitu sebesar 15%. 

 

Dengan demikian, IMF memproyeksi bahwa, yurisdiksi dengan tarif PPh badan yaitu dibawah 15% maka akan meningkatkan tarif pajaknya yaitu setidaknya akan menjadi 15%. Jika hal ini dilakukan, maka akan diperoleh rata-rata tarif pajak korporasi yang secara global akan meningkat yaitu sebesar 22,2% akan menjadi 24,3%. 

 

Namun, IMF tidak melakukan pertimbangan atas adanya potensi bagi yurisdiksi untuk tidak melaksanakan ketentuan pajak minimum global walaupun telah menyetujui terkait Pilar 2 yaitu Global Anti Base Erosion (GloBE). Dimana, OECD sebagai fasilitator dan konsensus yang tidak memiliki suatu kekuatan serta kewenangan yang dapat memaksa yurisdiksi dalam mengimplementasikan aturan ini.

 

Seperti misalnya, di Amerika  Serikat (AS) dan Uni Eropa yang mulai terdapat tantangan-tantangan politik yang menjadi potensi dalam penghambatan implementasi dari pajak korporasi minimum global, sehingga adopsi terkait pajak minimum global yang berpotensi akan terhambat oleh suara para parlemen Kongres AS yang mana masih terbelah.

 

Selain itu, Uni Eropa yang masih terhambat mengenai sikap Polandia yang memandang Pilar 1 dan Pilar 2 : Unified Approach yang harus diimplementasikan yaitu secara bersama. Dengan keikutsertaan Indonesia dalam consensus internasional ini, maka diharapkan dapat meningkatkan dalam menarik investor asing, sehingga basis pemajakan di Indonesia akan semakin luas yang mana besar kemungkinan akan mendapatkan penerimaan pajak.

 

Walaupun besaran tarif global minimum tax lebih kecil dibandingkan dengan tarif Bentuk Usaha Tetap (BUT), namun masih terdapat peluang adanya perluasan basis pemajakan ini, sehingga pemerintah dapat menggali potensi yang belum ada sebagai bagian dari kegiatan ekstensifikasi nya. 

 

Meskipun tarif pajak minimum global yang sudah ditetapkan, namun bukan berarti 100% negara suaka pajak akan hilang. Karena dapat diilustrasikan bahwa, perusahaan multinasional yang akan diberikan dua pilihan. Pilihan pertama yaitu negara  A akan menggunakan tarif sesuai dengan pajak minimum global yaitu sebesar 15% sedangkan negara B yang menetapkan untuk menggunakan tarif 23%.

 

Kesepakatan terkait dengan pajak minimum pada perusahaan global yaitu sebanyak 136 negara. Kebijakan yang disepakati ini diyakini dalam mempersulit akses gerak raksasa teknologi seperti Google, Facebook, Amazon, Microsoft, hingga Apple dalam menghindari pajak dengan mendirikan kantor di yuridiksi pajak yang rendah, sehingga masing-masing negara akan memperoleh hak nya, dikarenakan telah melakukan suatu pencegahan atas penggerusan basis pemajakan dan pergeseran atas laba dari perusahaan multinasional. 

 

Baca juga: Senang Konsumsi Daging? Ketahui Perpajakannya Di Sini

 

 

Rencana terkait pengenaan pajak minimum global yaitu berasal dari pemerintah Amerika Serikat (AS) ketika forum tujuh negara dengan kekuatan ekonomi terbesar (G7) dilaksanakan. Kemudian, pembahasannya dilanjutkan pada forum G20 yang akhirnya disepakati oleh OECD. 

 

Terkait dengan pemberlakuan pajak minimum global sehingga adanya wacana terkait pemberian insentif pajak khususnya pembebasan pajak atau tax holiday yang diharapkan dilakukan dengan hati-hati dan selektif. 

 

Atas tarif yang ditetapkan mengenai pajak minimum global akan menyasar kepada seluruh perusahaan multinasional dengan omzet (peredaran usaha) nya yaitu lebih dari 750 juta euro dalam setahun, sehingga pilar dua mensyaratkan kepada semua yurisdiksi atas tarif pajak penghasilan (PPh) badan atas bunga, royalti, serta pembayaran lain yaitu kurang dari 9 persen maka harus mengikuti ketentuan peraturan pajak ini (subject to tax rule). 

 

Sehingga dampak dari kebijakan dilakukannya pajak minimum global ini adalah tergantung dari negara yang membuat kebijakan teknis domestic. Namun, tetap bahwa pemberlakuan pajak minimum global ini memerlukan partisipasi dari seluruh negara agar tujuan diberlakukannya kebijakan ini akan tercapai.

 

Dengan adanya ketentuan tersebut, atas pemberian tax holiday ini dinilai akan memberikan kerugian bagi negara jika memberikan insentif tersebut. OECD menyampaikan bahwa terdapat dua kerugian jika tax holiday diberikan di tengah wacana pemberlakuan pajak minimum global ini. 

 

Kerugian tersebut terdiri dari, kerugian pertama, dimana negara atau yurisdiksi yang diharuskan untuk melakukan pengelolaan dalam pemberian insentif yang dinilai tidak bermanfaat. Kerugian kedua adalah, negara tersebut akan kehilangan sebuah potensi terkait penerimaan pajak, yang dimana negara lain akan memperoleh manfaat dari diberlakukannya top-up tarif pajak atas ketentuan global tersebut. 

 

OECD juga menambahkan terkait catatan yang dapat digunakan untuk acuan tiap negara yang akan memberikan insentif pajak, yaitu:

 

  1. Pemberian insentif pajak ini diberikan bagi perusahaan yang tidak termasuk dalam ketentuan GloBE
  2. Pemberian insentif ini juga sebaiknya dilakukan pada lingkup yang lebih kecil
  3. Pemberian insentif ini yaitu berdasarkan basis pengeluaran seperti gaji atau aset berwujud yang akan terdampak lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan basis pendapatan
  4. Insentif berupa pemulihan biaya aset berwujud tidak akan terpengaruh dari kebijakan GloBE
  5. Pemberian insentif ini yaitu dalam bentuk perlakuan hibah tunai serta pajak yang dapat dikembalikan yaitu sebagai pendpatan yang cenderung tidak terpengaruh.

 

Dengan dampak tax holiday yang tidak terlalu besar namun OECD tetap menyarankan bagi tiap negara untuk lebih hati-hati dalam memberikan insentif pajak ini dikarenakan kemungkinan yang timbul atas dampak dari segi fiskal, yaitu khususnya bagi negara-negara berkembang.