Sebagian orang mendengar kata membayar pajak tentunya akan berfikir itu sebuah beban. Ini mengakibatkan wajib pajak malas membayar pajak sesuai definisinya pajak yang bersifat memaksa, karena tanpa dipaksa wajib pajak tidak akan patuh membayar pajak (Darmayasa & Aneswari, 2016).
Definisi kepatuhan pajak berdasarkan TPB adalah bahwa seseorang akan memutuskan untuk patuh membayar pajak dipengaruhi oleh norma subjektif. Norma subjektif adalah hal-hal di sekitar wajib pajak yang akan mempengaruhi perilakunya.
Misalnya adalah edukasi perpajakan, lingkungan kantor sampai dengan keluarga dan lain-lain. Namun asumsi dari teori ini adalah menganggap bahwa terdapat kepastian di masa mendatang. Sedangkan dalam perpajakan, masa depan merupakan hal yang tidak pasti, sehingga orientasi wajib pajak akan mengarah pada ketidakpastian (Damayanti et al. 2015).
Ternyata pajak sudah ada pada jaman sebelum masehi. Penulis sempat membaca buku The Aztec Empire karya Smith (2015) bahwa pajak sudah ada pada jaman Mesopotamia. Bagaimana dengan bangsa Indonesia, kita sudah mengenal pajak dari jaman penjajahan, selanjutnya pada tahun 1983 sistem perpajakan menuju undang-undang nasional (Bawazier, 2011). Di Indonesia mulai melaksanakan program tax amnesty atau pengampunan pajak yang dibayar dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan (Undang-Undang No 11, 2016).
Tujuan diselenggarakannya amnesti pajak yaitu untuk mendorong pendapatan negara dari sektor pajak dalam waktu dekat, menumbuhkan tingkat kepatuhan pajak di masa mendatang, mendorong agar wajib pajak menginvestasikan asetnya yang berada di luar negeri dipindahkan ke dalam negeri, dan sebagai proses perubahan sistem modernisasi perpajakan (Bimonte & Stabile, 2015).
Pada pelaksanaannya, cukup banyak wajib pajak yang mengikuti program ini karena pemerintah telah memberikan kemudahan serta fasilitas seperti penghapusan sanksi administrasi dan ditiadakannya pemeriksaan pajak. Wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri wajib merepatriasi atau menyalurkan hartanya untuk investasi dalam negeri selama 3 tahun lamanya.
Menurut penelitian (Ketut, Ambara, & Noviari, 2017) repatriasi sebagian atau seluruh aset wajib pajak yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Replublik Indonesia dapat membantu stabilitas ekonomi makro seperti peningkatan nilai tukar rupiah, cadangan devisa, dan likuiditas perbankan.
Program pengampunan pajak tahap pertama berakhir Jumat 30 September 2016, Presiden memantau langsung layanan pengampunan pajak di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta. Presiden mengingatkan masih ada tahap kedua dan ketiga yang bisa diikuti wajib pajak, pelaku usaha, dan masyarakat.
Berdasarkan data DJP aset yang dideklarasikan pada tahap pertama menembus Rp4.000 triliun, re-patriasi Rp135 triliun dan uang tebusan yang masuk kas negara Rp93,6 triliun. Data pajak hasil pengampunan pajak akan di-gunakan bersama-sama dengan data pajak yang telah dimiliki sebelumnya untuk mengidentifikasi potensi pajak pada tahun-tahun mendatang.
Apabila melihat total aset yang dilaporkan dalam program pengampunan pajak tahap pertama sekitar 69,5 persen yang merupakan aset dalam negeri, berarti DJP belum sepenuhnya mampu menggali potensi pajak dalam negeri apa lagi yang ada di luar negeri.
Selain itu diharapkan program pengampunan pajak menjadi momentum yang tepat untuk mendorong usaha mikro, kecil dan menengah tumbuh subur, menimbulkan keadilan bagi semua wajib pajak, namun realisasinya urusan administrasi dan prosedurnya justru dinilai kurang ramah bagi pelaku usaha UMKM menurut penelitian (Setyaningsih & Okfitasari, 2017) maka program tax amnesty sesungguhnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan pendapatan negara melalui pajak sesuai dengan data yang tercantum.
Disclaimer:
Artikel ini merupakan karya peserta pelatihan simulasi pajak hasil kerjasama Politeknik Negeri Bali dengan PT Mitra Pajakku. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Informasi ini BUKAN merupakan saran atau konsultasi perpajakan. Segala aturan yang terkutip dalam artikel ini sangat mungkin ada pembaharuan dari otoritas terkait. Pajakku tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul akibat adanya keterlambatan atau kesalahan dalam memperbarui informasi dalam artikel ini.









