Kenaikan PPN Pasca Pandemi Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Seluruh negara di dunia merasakan dampak yang sangat signifikan dari Covid-19, salah satunya ancaman resesi dan depresi terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sekitar 80% penerimaan negara Indonesia bersumber dari pajak, guna dapat membiayai pembangunan dan menjaga kestabilan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dibutuhkan pembenahan fondasi sistem perpajakan yang berkelanjutan.

Pada tahun 2020 APBN Indonesia menunjukkan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.072,1 triliun atau terkontraksi 19,6%, jika dibandingkan dengan realisasi APBN di tahun 2019. Hasil analisis dalam realisasi anggaran ternyata ditemukan shortfall berkisar 126,7 triliun dari target APBN. 

Shortfall tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yakni membengkaknya realisasi pembiayaan sebesar 945,8 triliun atau setara dengan kenaikan defisit anggaran menjadi 6,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta belanja negara yang terealisasi tinggi untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu berbagai upaya reformasi perpajakan digencarkan. Sejak diberlakukan Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 11% yang semulanya 10% dan sudah berlaku sejak 1 April 2022.

Tarif PPN akan naik kembali pada tahun 2025 menjadi 12% yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025, ketentuan tersebut telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) BAB IV UU HPP. Menkeu Sri Mulyani menegaskan, rata-rata PPN di negara seluruh dunia mencapai 15%, termasuk Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tentu tarif PPN di Indonesia masih di bawah rata-rata negara di dunia. Hal ini menjadi opportunity pemerintah guna meningkatkan penerimaan pajak dengan cara menaikkan tarif pajak. 

Tahun 2021 penerimaan PPN mencapai Rp 551 triliun atau setara dengan 106,3% dari target APBN. Dimana PPN mengalami pertumbuhan 14%, jika dibandingkan dengan penerimaan PPN 2020 yang mengalami defisit 12,73%. Peningkatan penerimaan pajak ini didorong oleh aktivitas ekonomi yang semakin membaik dan kegiatan impor yang meningkat signifikan. Menkeu Sri Mulyani, menggarisbawahi penerimaan PPN dalam negeri berkontribusi 26,8% dari penerimaan negara tahun 2020. Sementara, PPN atas impor tumbuh 36,6% yang pada tahun 2020 PPN atas impor terkontraksi sebesar 18,04% dengan kata lain PPN atas impor berkontribusi sebesar 15% dari penerimaan pajak tahun 2021. 

Kebijakan kenaikan tarif PPN 11% merupakan salah satu strategi unggulan dalam UU HPP. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki defisit APBN hingga ke level 3% di tahun 2023 mendatang. Pengaturan terkait tarif PPN tidak terlepas dari konsolidasi fiskal dan pertumbuhan perpajakan yang optimal dan berkesinambungan, jelas Yustinus Prastowo Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis. 

Realisasi penerimaan pajak sampai akhir April 2022 capai Rp 567,69 triliun atau setara dengan 44,88% dari target APBN, secara lebih rinci dari capaian tersebut kontribusi PPN dalam negeri sebesar 18,7%, dimana kinerja PPN tumbuh 36,6% jika dibandingkan dengan periode April tahun 2021 hanya sebesar 0,8%. Analisa realisasi penerimaan pajak PPN dan PPnBM tercatat Rp 192,12 triliun atau setara dengan 34,65% dari target APBN 2022. Hal ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan pajak yang sangat tinggi pada bulan April, ungkap Sri Mulyani. 

Di lain sisi, analisis dampak kenaikan tarif PPN diduga akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Hal ini dapat memicu inflasi dimana akan berpengaruh terhadap harga barang/jasa yang semakin tinggi. Oleh karena itu pelaksanaan kebijakan ini tetap mempertahankan fasilitas PPN terhadap masyarakat, yakni PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut, dengan tujuan menjaga daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Seperti barang yang mendapatkan fasilitas dibebaskan atau tidak dipungut PPN di antaranya barang kebutuhan pokok, air bersih, listrik, minyak bumi, gas bumi, panas bumi, dan vaksin. Sedangkan, jasa yang mendapatkan fasilitas PPN seperti jasa kesehatan, jasa Pendidikan, jasa angkutan umum, jasa sosial, jasa konstruksi yang tujuan utamanya untuk rumah ibadah hingga bencana nasional. Pemerintah juga memberikan fasilitas PPN terhadap barang dan jasa tertentu seperti barang dan/atau jasa yang merupakan objek pajak daerah, uang/emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan jasa keagamaan. 

Dengan kebijakan unggulan tarif PPN naik menjadi 11% diharapkan mampu memberikan dampak positif yang berkesinambungan terhadap penerimaan negara di sektor perpajakan. Seiring dengan pemulihan ekonomi nasional Indonesia, hal tersebut tidak menjadi halangan bagi pemerintah untuk membangun dan menguatkan fondasi perpajakan guna memperbaiki kondisi APBN yang secara berturut-turut selama masa pandemi mengalami defisit anggaran.