Berdasarkan rapat kerja atau raker Kementrian Keuangan bersama XI DPR, bahwa tercatat penerimaan negara telah mencapai angka Rp 1.028, 02 triliun atau 60, 52 persen dari target pada Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1. 699, 9 triliun. Pada kondisi saat ini, penerimaan negara sebesar Rp 1.028, 02 triliun tersebut telah terjadi kontraksi sebesar 13, 5 persen yang disebabkan oleh ekonomi nasional yang masih merasakan dampak dari pandemi COVID-19.
Pada kabar sebelumya, Kementerian Keuangan telah mencatat realisasi penerimaan negara hingga akhir Juli 2020 yang telah mencanpai angka sebanyak Rp 922, 24 triliun atau sebesar 54, 25 persen dari target yang tertuang di Perpres 72 Tahun 2020. Pada realisasi tersebut terjadi kontrasksi sebanyak 12, 37 persen. Pada total penerimaan negara yang menembus angka Rp 1.028, 02 triliun tersebut, adapun dana yang diterima sektor perpajakan sebanyak Rp 795, 95 triliun. Perpajakan tersebut merupakan gabungan antara penerimaan pajak dengan bea dan cukai.
Lalu, ada pun dana yang diterima dari penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dengan jumlah sebesar Rp 232, 07 triliun. Pada realisasi penerimaan negara tersebut, sebenarnya termasuk merupakan angka yang rendah dibandingkan periode tahun lalu dengan angka Rp 1. 189, 3 triliun atau sekitar 54, 9 persen dari target dalam APBN 2019 sebesar Rp 2. 165, 1 triliun. Sementara, dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara bahwa rasio utang mencapai 34, 53 persen terhadap produk domestik bruto atau PDH sampai dengan akhir Agustus 2020.
Jika dilihat menurut tahunannya, rasio utang terhadap produk domestik bruto per akhir Agustus 2020 tersebut naik dibandingkan pada periode tahun lalu yang ada pada level 29, 8 persen. Adanya pengaruh dari suku bunga dan nilai tukar, serta peningkatan penerbitan surat berharga negara atau SBN membuat rasio utang menjadi naik. Kenaikan rasio utang tersebut sejalan demi memnuhi kebutuhan pembiayaan seiring defisit yang melebar dalam rangka penanganan pandemic COVID-19. Pada sisi lain, dikabarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2020 sebesar nol persen (0 %) sampai dengan minus dua persen (-2 %).
Jika ekonomi tercatat negatif, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki zona resesi. Walaupun demikian, dikatakan hal tersebut bukanlah suatu hal yang buruk. Sebab, melihat pada aktivitas masyarakat yang sama sekali belum mencapai kondisi normal tersebut. Sekilas informasi, negara-negara lain sudah lebih awal telah memasuki zona resesi yang mengalami kontraksi ekonomi sampai dengan negatif 20 persen (-20 %). Jadi, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia, resesi tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan negara-negara tersebut.
Jika diperhatikan, kontraksi yang terjadi di Indonesia tidak besar dan menunjukkan tanda-tanda pemulihan pada bidang konsumsi, investasi dengan dukungan dan belanja pemerintah akselerasi cepat. Serta, diharapkan kegiatan ekspor dapat menjadi lebih baik. Pemerintah tetap berusaha demi memulihkan ekonomi Indonesia selama pandemi COVID-19 melanda. Pemerintah terus mendukung seluruh mesin pertumbuhan ekonomi seperti konsumsi, investasi serta ekspor demi mendongkrak ekonomi kuartal III tahun 2020.









