Gross-Up sebagai Instrumen Tax Planning: Validitas Fiskal dan Potensi Reklasifikasi sebagai Constructive Dividend

Dalam suatu struktur royalti lintas yurisdiksi, gross-up kerap menjadi elemen yang tampak sederhana tetapi menyimpan konsekuensi signifikan. Bayangkan sebuah anak perusahaan di Indonesia harus membayar royalti lisensi teknologi sebesar 10 juta USD net kepada induknya di Singapura. Karena adanya klausul gross-up, yaitu kesepakatan kontraktual di mana pembayar menanggung seluruh pajak pemotongan sehingga penerima tetap menerima jumlah bersih sesuai kontrak, total pembayaran naik menjadi 12,5 juta USD karena pajak PPh Pasal 26 ditanggung sepenuhnya oleh pihak Indonesia. Tambahan 2,5 juta USD itu dicatat sebagai biaya royalti yang dapat dikurangkan secara fiskal, sehingga menghasilkan penghematan PPh Badan hingga miliaran rupiah. 

Namun, saat pemeriksaan pajak tiga tahun kemudian, fiskus menerbitkan SKPKB senilai puluhan miliar rupiah. Argumennya, struktur gross-up tersebut dianggap sebagai constructive dividend, yaitu penyaluran keuntungan kepada pemegang saham atau pihak afiliasi yang tidak dicatat secara formal sebagai dividen tetapi memiliki substansi ekonomi yang sama, sehingga dilakukan penyesuaian transfer pricing karena dinilai tidak mencerminkan transaksi wajar antar pihak independen. Dalam pandangan fiskus, tidak lazim jika satu pihak menanggung pajak lawan transaksinya tanpa kompensasi harga. Di sinilah letak paradoks gross-up, yakni secara aturan diperbolehkan, tetapi semakin sering menjadi titik kritis dalam pemeriksaan pajak. 

Landasan Normatif Gross-Up 

Secara hukum positif, gross-up tidak dilarang. Pasal 4 ayat (1) UU PPh mendefinisikan penghasilan bruto sebagai seluruh tambahan kemampuan ekonomis, sedangkan Pasal 6 ayat (1) mengakui biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan sebagai pengurang penghasilan bruto. Beban pajak yang ditanggung perusahaan (tax borne by payer) dapat dikategorikan sebagai biaya tersebut selama memenuhi unsur “nyata, wajar, dan terdokumentasi.” 

Direktorat Jenderal Pajak melalui SE-31/PJ/2017 dan SE-57/PJ/2010 secara eksplisit mengakui gross-up atas tunjangan pajak karyawan dan pembayaran tertentu lainnya sebagai biaya yang dapat dikurangkan, dengan syarat tidak bersifat fiktif. Di ranah internasional, OECD Transfer Pricing Guidelines edisi 2022 mengakui bahwa penanggungan pajak oleh satu pihak dapat diterima sepanjang pihak independen dalam kondisi sebanding juga melakukannya atau disebut comparable uncontrolled transaction test (OECD, 2022). 

Mekanisme Perhitungan dan Dampak Fiskalnya 

Secara matematis, gross-up menghasilkan penambahan basis pengenaan pajak bagi pembayar.  

Jika nilai bersih yang diinginkan penerima adalah N dan tarif efektif pajak pemotongan adalah t, maka nilai bruto yang harus dibayar adalah: G = N / (1 – t).  

Beban pajak yang ditanggung pembayar = G × t = N × (t / (1 – t)). Dari perspektif pembayar dalam negeri, tambahan biaya sebesar N × (t / (1 – t)) dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak badan (tarif 22% pada 2025), sehingga terdapat efek penghematan pajak badan sebesar: Net cost = N × (t / (1 – t)) × (1 – 0.22) (Waluyo, 2024) 
 
Efek leverage ini menjadi salah satu alasan gross-up sering digunakan dalam perencanaan pajak grup perusahaan multinasional. 

Gross-Up dalam Transaksi Afiliasi: Antara Pembelaan Arm’s Length dan Risiko Reklasifikasi Tax Avoidance 

Dalam konteks transaksi afiliasi lintas batas, gross-up menjadi lebih kompleks. Direktorat Jenderal Pajak sejak implementasi PMK-213/PMK.03/2016 yang kemudian digantikan PMK-172/2023 mewajibkan setiap transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Penanggungan pajak oleh entitas Indonesia kepada entitas afiliasi luar negeri sering kali tidak menemukan pembanding di pasar terbuka, karena pihak independen umumnya tidak mau menanggung beban pajak penerima tanpa kompensasi berupa penyesuaian harga jasa atau royalti (International Bureau of Fiscal Documentation, 2024).  

Akibat sulitnya pembuktian arm’s length tersebut, otoritas pajak cenderung melakukan primary adjustment dengan menganggap gross-up sebagai hidden dividend atau constructive dividend seperti tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh jo. Pasal 2 ayat (3) huruf b PMK-172/2023. Lebih jauh lagi, mengacu pada doktrin substance over form dan general anti-avoidance rule (GAAR) dalam UU HPP tahun 2021, suatu skema gross-up juga berpotensi direklasifikasi sebagai penghindaran pajak apabila memenuhi tax benefit test, tidak memiliki commercial substance, atau mengakibatkan base erosion yang signifikan (Supramono, 2023).  

Sebaliknya, gross-up tetap dapat dibela jika didukung benchmarking yang kredibel, klausul kontrak sejak awal, serta bukti praktik industri yang lazim. Perusahaan yang ingin tetap aman harus mengintegrasikan analisis gross-up dalam dokumentasi transfer pricing tahunan, melakukan tax risk assessment sebelum penandatanganan kontrak, serta menyiapkan pembanding arm’s length yang solid. Gross-up bukan lagi sekadar klausul biasa dalam kontrak internasional, melainkan salah satu area berisiko tinggi yang memerlukan pendekatan defensif. 

Oleh karena itu, perusahaan tidak bisa lagi memperlakukan gross-up sebagai formula teknis yang otomatis aman dari sudut pandang fiskal. Setiap penerapannya perlu didukung alasan bisnis yang jelas, analisis pembanding yang masuk akal, serta penilaian risiko yang komprehensif atas kemungkinan reklasifikasi sebagai constructive dividend. Dengan demikian, pertanyaan kunci bukan sekadar “apakah gross-up diperbolehkan secara aturan?”, melainkan “apakah gross-up dalam kondisi tertentu wajar, layak dipertahankan, dan dapat dipertanggungjawabkan?”. Pada titik inilah, gross-up tidak lagi hanya menjadi instrumen tax planning, tetapi berkembang menjadi bagian dari strategi tata kelola pajak yang lebih matang dan berorientasi pada kehati-hatian. 

Penulis: 
Hizkia Marulitua Sibagariang
Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Padjadjaran  

Disclaimer: Artikel ini merupakan hasil karya dan pendapat pribadi penulis. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.